Sejak pertemuan
pertama dengan Patric hari-hariku tak lagi seperti beberapa tahun
sebelumnya, setidaknya ada teman bercanda dan bermain, dia menjadi
sahabatku. Jujur saja kehadirannya memberiku semangat
untuk menyesaikan skripsiku secepatnya, mungkin karena kami sering
juga belajar bersama. Disela-sela kesibukannya menyelesaikan
peneliatian pengambilan Sarjana Treasury, dia selalu menyempatkan
diri hadir di rumah orangtuaku.
Hobbynya bermain catur membuat dia lebih sering datang untuk bermain catur dengan Bapak dan terutama karena dia ingin menguasai Catur Karo yang baginya amat menarik. Dia tak lagi segan untuk hadir di rumah kami walau tanpa kehadiranku.
Dia
datang dan pergi sesuka hatinya dan sering juga menikmati makan malam
masakan nande. Dia telah menjadi bagian keluarga ini. Tetangga yang
awalnya mencibir kini ramah karena sifat Patric yang luwes dan suka
menegur semua orang dengan ramah. Hari-hari libur sering kami jalan
berdua, aku menjadi teman dan sekaligus Tour Leadernya ketika ia
ingin berkunjung ke tempat pariwisata di Sumatera Utara.
Dua minggu sebelum
penelitian Patric berakhir setelah hampir 2 tahun di Medan, dia minta
izin ke Bapa dan Nande , agar mengizinkanku bersamanya
mengabiskan waktu beberapa hari di Danau Toba. Entah kekuatan apa
yang membuat Bapa dan Nande mengizinkan, yang mana sesungguhnya
mereka amat streng dan tegas dalam hal ini.
Senja itu udara
Parapat amat menyenangkan, angin sepoi-sepoi basah menerpa lembut di
wajahku, langit jingga mengiasi cakrawala, sejenak penguasa cahaya
akan kembali keperaduannya, indah dan hikmah kurasakan tiada tara,
dan aku merasa amat dekat dengan Sang Pencipta. Dan pada saat itu
tiba-tiba Patric meletakkan tangannya di bahuku, mendekatkan wajahnya
diwajahku, menggenggam kedua tanganku dan bertanya : “ Sri Ulina
beru Brahmana, wil you marry me..?”
Aku terkejut dengan
pertanyaan Patric, aku tak bisa menjawab. Sanking terkejutnya aku
menarik tanganku dari genggaman Patric tetapi dia tidak
melepaskannya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Bingung, terkejut
? Saya benar-benar tidak tahu. Belum juga lepas dari kebingungan
Patric telah mencuim bibirku dengan lembut. Memelukku, mencium
keningku dengan dalam dan selanjutnya berkata:
“ Kau tidak perlu
memberiku jawaban sekarang, Kau cukup memberi jawaban dengan menunggu
kembali 3 bulan lagi “ lanjutnya.
“Kalaupun hatimu
tertutup untukku, aku tetap akan bahagia karena aku telah
mengungkapkan hatiku untukmu yang telah kupendam satu tahun lamanya.
I care about you very much, kalaupun engkau
menolakku, aku akan tetap buktikan dengan kehadiranku kembali, bahwa
aku bukan sama dengan impalmu” ucapnya.
Setitik air mata
Patric menetes di keningku. Aku tidak tahu apakah itu airmata
bahagia, atau karena lega telah melepaskan perasaannya yang
terpendam.
Malam itu, aku tak
lagi banyak bicara. Canda Patric hanya kubalas dengan senyum. Aku
benar-benar bingung. Aku sayang pada temanku ini, sahabatku ini,
sungguh. Jujur saja riak-riak cemburu sesungguhnya sering muncul
dihatiku ketika ada gadis-gadis cantik bercanda dengannya. Ketika
anak gadis tetangga berusaha dekat dengannya, tetapi yang kurasakan
bukan cemburu karena jatuh cinta, tetapi cemburu takut kehilangan
sahabat. Lain dengan Patric, dia kelihatan jauh lebih ceria dari
hari-hari sebelumnya. Dia memelukku dan mencium keningku
berulang-ulang. Kadang dia merebahkan kepalaku didadanya kemudian
mencium rambutku. Entah kekuatan apa yang telah membelungguku hingga
aku hanya kakau dan pasrah saja.
“ Bolehkah aku
minta big huge dan kiss me good night, pertanda kau sayang
denganku ?” Pintanya sebelum memasuki kamarnya, dan aku
melakukannya.
(bersambung)
Bagian pertama : Kenalan Pertama di Gramedia Gajah Mada
Note : Cerita ini telah dipublish sebelumnya di Sorasirulo