Musim panas tahun
ini tidaklah secerah biasanya, sering mendung, grimis dan suhu udara
hanya rata-rata 21’C. Walau demikian aku mecoba menikmatinya dengan
bersepeda keliling kanal dan susut-sudut kota Amsterdam. Dan seperti
biasanya setiap sore aku habiskan waktuku di cafe…., tepat di pojok
Blauw Burg.
Senja ini tepatnya satu tahun yang lalu suamiku Patric
berubah menjadi Patricia. Sesungguhnya aku telah berusaha menempatkan
kejadian ini dalam peti kenangan yang ku kunci rapat-rapat, tetapi
celah hatiku meliriknya kembali karena aku pernah mencintainya dan
bahagia bersama bertahun-tahun lamanya.
Hari ini matahari
terik sekali melebini hari-hari biasanya, seolah-olah matahari ingin
menghukum kota Medan dengan teriknya yang membakar.
Dengan langkah
terseret-seret ku paksa kakiku membawa badan menuju Toko Gramedia
Gajah Mada. Kalaulah aku kemarin malam tidak berjanji dengan Bapa dan
Nande akan menyeselaikan kuliahku, aku tidak akan menginjakkan kakiku
di sini. Tahun ini adalah tahun terakhir, atau aku harus dropout dari
kampus dan menghianati orangtuaku dan aku tidak ingin itu terjadi.
“Exusme, boleh
saya duduk disini ?” tanya seorang laki-laki berambut pirang dan
bermata biru, ketika aku baru saja meneguk Es apokat pesananku di
cafe toko buku ini.
“Silakan”
jawabku sambil melihat sekejap wajahnya yang sedang berdiri di
depanku dan melanjutkan bacaanku.
“Kenalkan , saya
Partic Scholten” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Ya..hai saya Sri
Ulina” dengan uluran tangannya.
“Orang Batak
biasanya punya marga” lanjutnya.
“Benar , tetapi
saya bukan Batak walau saya punya Marga” mergaku adalah Brahmana
jawabku datar
“Apa itu ?”
tanya Patric lebih lanjut.
Sejenak aku diam,
karena nggak punya mud tuntuk kasi kuliah gratisan..
“ Brahmana adalah
salah sub Merga Sembiring , dan Sembiring adalah satu dari 5 induk
merga di Karo. Kalau mau lebih tahu tentang Karo, tinggallah di Medan
ini lebih lama dan bangunlah komunitas dengan Karo” jawabku
seadanya.
“Ya tentu saja,
dan saya yakin kamu rela memberiku alamat rumahmu, dan menjadi
temanku “ balasnya dengan penuh antusias sambil tertawa.
“Cilaka duabelas”
jawabku sambil tertawa juga kesal.
Aku terjebak.
(bersambung)
Bagian kedua :Ciuman Pertama di Pinggir Danau Toba
(bersambung)
Bagian kedua :Ciuman Pertama di Pinggir Danau Toba
Karya ini telah dipublis sebelumnya di Sorasirulo.