Suamiku Patric jadi Petrisia (1) : Kenalan Pertama di Gramedia Medan


Gramedia
srikatana.blogspot.com

 
 
Musim panas tahun ini tidaklah secerah biasanya, sering mendung, grimis dan suhu udara hanya rata-rata 21’C. Walau demikian aku mecoba menikmatinya dengan bersepeda keliling kanal dan susut-sudut kota Amsterdam. Dan seperti biasanya setiap sore aku habiskan waktuku di cafe…., tepat di pojok Blauw Burg

Senja ini tepatnya satu tahun yang lalu suamiku Patric berubah menjadi Patricia. Sesungguhnya aku telah berusaha menempatkan kejadian ini dalam peti kenangan yang ku kunci rapat-rapat, tetapi celah hatiku meliriknya kembali karena aku pernah mencintainya dan bahagia bersama bertahun-tahun lamanya.
                                                   
Hari ini matahari terik sekali melebini hari-hari biasanya, seolah-olah matahari ingin menghukum kota Medan dengan teriknya yang membakar. 
 
Dengan langkah terseret-seret ku paksa kakiku membawa badan menuju Toko Gramedia Gajah Mada. Kalaulah aku kemarin malam tidak berjanji dengan Bapa dan Nande akan menyeselaikan kuliahku, aku tidak akan menginjakkan kakiku di sini. Tahun ini adalah tahun terakhir, atau aku harus dropout dari kampus dan menghianati orangtuaku dan aku tidak ingin itu terjadi.


“Exusme, boleh saya duduk disini ?” tanya seorang laki-laki berambut pirang dan bermata biru, ketika aku baru saja meneguk Es apokat pesananku di cafe toko buku ini.
“Silakan” jawabku sambil melihat sekejap wajahnya yang sedang berdiri di depanku dan melanjutkan bacaanku.
“Kenalkan , saya Partic Scholten” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Ya..hai saya Sri Ulina” dengan uluran tangannya.
“Orang Batak biasanya punya marga” lanjutnya.
“Benar , tetapi saya bukan Batak walau saya punya Marga” mergaku adalah Brahmana jawabku datar
“Apa itu ?” tanya Patric lebih lanjut.

Sejenak aku diam, karena nggak punya mud tuntuk kasi kuliah gratisan..
“ Brahmana adalah salah sub Merga Sembiring , dan Sembiring adalah satu dari 5 induk merga di Karo. Kalau mau lebih tahu tentang Karo, tinggallah di Medan ini lebih lama dan bangunlah komunitas dengan Karo” jawabku seadanya.
“Ya tentu saja, dan saya yakin kamu rela memberiku alamat rumahmu, dan menjadi temanku “ balasnya dengan penuh antusias sambil tertawa.
“Cilaka duabelas” jawabku sambil tertawa juga kesal. 

Aku terjebak.

(bersambung)

Bagian kedua :Ciuman Pertama di Pinggir Danau Toba


Karya ini telah dipublis sebelumnya di Sorasirulo.