Sesungguhnya aku tak pernah berniat untuk menikah kembali setelah
kepergian suamiku yang pertama selamanya karena kecelakaan. Aku dan
anakku tak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan membuatku teramat
sulit menerima kenyataan.
Tiga tahun setelah kepergiannya anakku
semata wayang menemukan suami tempatnya berlindung dan pindah ke kota
lain dan jaraknya tidak dekat, aku di Berastagi dan dia di Jambi.
Karena aku belum pensiun dari PNS kelas rendah, waktu bertemu dengan
putri dan
cucu-cucuku hanya bisa disaat-saat tertentu. Walau demikian
hidupku terasa terisi karena sibuk dengan pekerjaan dan berbagai
aktifitas lainnya. Kerinduan akan suamiku terasa berat sekali
terutama saat-saat bahagia, anak menikah, kelahiran cucu dan
berkunjung ke kota mereka.
Setelah pertemuan dengan Peter, merubah segalanya. Tak pernah
kusangka akan jatuh cinta lagi, apalagi dengan seseorang yang berbeda
bangsa, negara dan agama. Awalnya aku anggap karena aku mungkin
kesepian, dan memerlukan waktu untuk meyakini diriku sendiri.
Pertemuan dengan Peter tidaklah amat romantis. Di depan sebuah warung
bakso, ketika dia kesulitan menemukan toko souvenir, dan hari hujan.
Peter kelihatannya punya status yang sama, istrinya meninggal dunia
beberapa tahun sebelumnya, karena kanker payudara. Kedua anaknya
sudah dewasa dan memiliki rumahtangga masing-masing.
Walau jarak amat jauh, terasa lebih dekat, terimakasih terhadap
teknologi dan internet, komunikasi dengan Peter tidak terputus.
Cerita kehidupan sehari-hari berubah menjadi cerita perasaan dan
semakin serius. Kelanjutannya, dua tahun kemudian aku meninggalkan
Indonesia dan segalanya yang aku miliki. Peter yang tak berapa lama
lagi akan pensiun inginkan menghabiskan waktunya bersamaku. Walau aku
kelak kurang bahagia setidaknya aku bisa membahagiakan seseorang yang
aku cintai pikirku saat itu. Beda usia 12 tahun dengannya tertutup
oleh kasih dan perhatiannya yang besar.
Kehadiranku di Belanda disambut hangat oleh anak-anak Peter dan
cucu-cucunya. Mereka menghargaiku sebagai istri papa mereka dan
menunjukkan rasa hormat dan senang melihat Peter berbahagia kembali.
Keluarga dan temanku di Indonesia akhirnya menerima kehadiran Peter.
Setidaknya mereka tidak menunjukkan rasa iri atau dengki jika kami
berkunjung ke Indonesia.
Kebahagianku kali ini kelihatannya juga tidak berlangsung lama.
Delapan tahun kemudian, dari hasil diagnosa, Peter positif menderita
kanker usus. Jenis kanker yang hingga kini belum bisa ditangani
dengan sempurna di Belanda. Kanker usus berarti awal dari akhir
kehidupan seseorang. Walau telah menerima chemotherapie beberapa
kali, yang sesunguhnya hanya memperpanjang derita Peter, dia
meninggal dunia 9 bulan setelah diagnosa pertama.
Aku benar merasa hancur.
Jiwaku yang telah hancur, nyatanya tidak berakhir hingga disini.
Segera setelah Peter meninggal, anak-anaknya berubah wujudnya. Mereka
meletakkanku di luar keluarga ini. Aku tak punya hak memberi suara
lagi. Acara penguburan Peter dan segala bentuknya mereka putuskan
sendiri tanpa bertanya kepadaku apakah yang diinginkan Peter jika dia
meninggal dunia. Syukur Peter telah mengatur acara penguburannya
sendiri, setidaknya dia telah memberi mandat kepada Bergraven
Ondernememer, instansi yang mengurus segalanya jika seseorang
meninggal dunia.
Surat berita kematian Peter mereka berikan kepadaku hanya beberapa
lembar karena mereka menekankan bahwa mereka tidak inginkan kehadiran
orang lain yang mereka tidak kenal. Ini berarti tidak semua
teman-temanku dan kenalan baikku bisa hadir di acara penguburan
suamiku. Pada saat ceremoni mereka juga tak menyebut namaku dan
hanya mengingatkan kembali saat-saat bahagia Peter bersama ibu
mereka. Delapan tahun kebahagiaan Peter tidak masuk hitungan. Akhir
penguburan mereka tidak menawarkan mengantarku pulang, tetapi
memberitahukan bahwa mereka akan hadir beberapa hari kemudian untuk
membicarakan warisan papa mereka, yang sesungguhnya tidak banyak.
Mereka membagikan semua barang-barang peninggalan Peter dan barang
peninggalan ibu mereka yang nggak pernah aku sentuh karena rasa
hormat, tanpa bertanya apapun juga. Mereka menggangapku tidak ada.
Terasa mau muntah melihat tingkah laku mereka yang kini berwajah dua.
Mereka merasa senang atas kepergian papa mereka. Mereka memintaku
agar meninggalkan rumah dan kembali ke Indonesia menikmati harta papa
mereka yang tertanam di sana. Mendengar ucapan mereka bahwa Peter
memiliki harta di Indonesia membuatku benar-benar murka dan
benar-benar terhina. Tanpa mengucapkan sebuah katapun juga aku
menyodorkan map berisi surat pernyataan Peter, jika meninggal dunia
anak-anaknya mesti menghubungi notaris yang alamatnya tertera. Map
merah itu diberikan oleh Peter kepadaku seminggu sebelum hari
kematiannya. Aku sesungguhnya belum sempat membaca dan hampir lupa.
Sambil menyerahkan map merah tersebut aku berkata dengan tegas dan
keras penuh amarah, bahwa semua harta rumah dan pertanian di
Indonesia adalah hasil jerih payahku sebelum mengenal Peter.
Aku sesungguhnya tak mengerti bahasa dan proses hukum di Belanda
secara detail, tetapi dari penjelasan notaris, aku berhak memiliki
peninggalan Peter sejak hari pernikahan termasuk rumah, karena
anak-anak telah menerima warisan setelah ibu mereka meninggal. Dan
secara diam-diam Peter telah merubah testamennya jika dia meninggal
duluan daripada aku. Anak-anak berhak mengambil semua barang-barang
peninggalan ibu mereka dan barang yang telah dimiliki Peter ketika
ibu mereka masih hidup. Tabungan Peter sebelum menikah, tersimpan
secara terpisah, berhak mereka miliki. Dan sebagian dari yang mereka
terima , mereka harus membaginya kepada cucu-cucu Peter, jika mereka
mencapai usia 18tahun.
Belakangan aku ketahui bahwa sesungguhnya
mereka berwajah dua, mereka ramah tetapi serakah. Aku mendengar dari
shabat dekat Peter , bahwa secara diam-diam masing - masing anak
sering meminta sejumlah uang. Kalaupun mereka datang dan membawa
kado-kado yang manis dihari ulang tahun kami, dan di pesta Natal
karena Peter telah duluan memberi sejumlah uang untuk mereka.
Rasa sedihku atas kehilangan Peter semakin menjadi-jadi karenanya.
Nyatanya dia selama ini tidak bahagia. Jika aku tahu sebelumnya hal
ini tak akan pernah terjadi, atau setidaknya aku bisa lebih
memperhatikan Peter. Sekarang aku mengerti mengapa Peter sering
mengajakku pergi ketika hari-hari menjelang ulang tahunnya, atau
ulang tahunku. Anak-anak dan cucu-cucu bakalan kecewa kalau kita
pergi , itulah selalu alasanku. Aku menyesal sekali. Sebagai
pengakuan rasa bersalah, sejak Peter tidak ada, aku selalu berusaha
untuk pergi jalan-jalan di hari ulang tahunnya maupun ulang tahunku,
aku berusaha menikmatinya sambil berpikir bahwa Peter ada bersamaku.
Dengan cara ini aku menjadi tenang dan rasa bersalahku menjadi
berkurang.
Rumah peninggalan Peter telah aku jual dan membeli sebuah apartement
sederhana dan kecil. Hubunganku dengan anak-anak Peter benar-benar
terputus. Hanya satu cucu Peter yang paling kecil, dia lahir di depan
mataku dan menganggapku benar-benar neneknya. Cucu yang satu ini akan
mewarisi semua peninggalanku di Belanda.
Masa tua aku nikmati dengan
tenang. Musim dingin aku habiskan bersama cucuku di Indonesia, musim
lainnya ku nikmati di teras cafe di Belanda.
Note : goresanku yang telah dipublish terlebih dahulu di Sora Sirulo.com