Suamiku Patric jadi Petrisia (3) : Getirnya Cinta Pertama


Suamiku Patric jadi Petrisia (3) : Getirnya Cinta Pertama
google.com
 
Sesungguhnya aku butuh istirahat malam itu, aku sungguh lelah karena hari ini Patric mengajakku jalan menelusuri pulau Samosir, dan besok perjalanan Parapat – Medan akan memakan waktu. 
 
Patric ingin mengambil jalur lintas Kabupaten Karo yang menurutnya lebih indah , dan ingin singgah di penatapan Simarjarunjung, dan Air Terjun si Piso-piso, nyantap jagung bakar, atau jagung rebus di Berastagi. Dan sudah pasti menikmati indahnya matahari terbenam dari puncak Bukit Gundaling.

Gelisah, resah, bingung sedih dan takut pada hatiku sendiri , bercampur menjadi satu hingga aku benar-benar sulit memejamkan mata. Pernyataan kasih sayang Patric dan getirnya hati karena cinta pertama membuatku tak tahu berbuat apa. Malam yang semakin larut, membawaku semakin larut juga pada cerita masa laluku.

“ Aku akan membuktikan bahwa aku tidak seperti impalmu itu” ucap Patric senja itu. Entah dari siapa dia mendengar tentang cerita cintaku ini. Ada ras marah karena orang lain telah bercerita di belakangku, tetapi aku teringat adikku Riah. Aku dapat pastikan bahwa adikku inilah yang telah berceloteh ria sesuai dengan namanya kepada Patric.

Tujuh tahun sebelumnya, aku baru memasuki masa remajaku, aku akan memasuki kelas 1 SMA ketika impalku Joreta Tarigan akan melanjutkan pendidikannya ke pulau seberang, tepatnya Universitas Pertanian Bogor. Otaknya yang memang cemerlang membuat dia dengan mudah diterima menjalani pendidikan disana, Insinyur Pertanian adalah cita-citanya sejak kecil. 

Sejak dia menduduki kelas 3 SMA, dan aku tumbuh menjadi seorang remaja, dia semakin sering berkunjung. Layaknya remaja yang sedang jatuh cinta dia selalu hadir di malam minggu. Dan aku akan menyambutnya dengan malu-malu kucing.

Aku tidak tahu pasti apakah aku saat itu benar-benar jatuh cinta karena sesungguhnya kami bertumbuh secara bersama, aku telah mengenalnya sejak awal hidupku. Namun naluri kewanitaanku berbisik lain, aku mulai takut akan kehilangan Bang Jore, demikian kami memanggilnya..terutama dengan mengingat bahwa dia akan ke pulau seberang. Jelas dia akan bertemu dengan banyak wanita lain. Aku tak berani membayangkannya.

Kam tidak sedih kalau Bang Jore akan pergi jauh dek ?” tanya Bang Jore sore itu ketika kami duduk bersama menikamati es kelapa muda di Taman Sri Deli di hari minggu sore. Hari Minggu sore terakhir kami berdua sebelum di berangkat.

“ Sedih, ya sedih jugalah Bang, kan nggak ada lagi orang yang mau aku candai, kuledek dan sebaliknya” jawabku sambil menatap wajahnya dan berusaha tersenyum semanis mungkin, dan tiba hatiku tiba-tiba haru sekali, tangisku hampir meledak.

“Itu saja dek ? “ tanya Bang Jore selanjutnya.
Aku diam dan menundukkan kepalaku karena tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apa yang kuraskan saat itu membuatku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.

Dan tiba-tiba Bang Jore memegang kedua tanganku, dan meletakkannya di dadanya sambil berkata
Timaindu kel pagi pagi kemulihenku ya impalku, ula kel pagi rudang si kusuan kalak si mutikenca adi enggo terlak” “Tunggulah kepulanganku impalku..janganlah bunga yang telah aku tanam akan di petik orang ketika berkembang”

Tanpa kusadari, hanya airmataku yang mampu memberi jawabanya.
“Sudah dek, airmatamu sudah cukup bagiku sebagai jawabannya” ucap Bang Jore sambil mengusap air mata di pipiku, kemudian mencuim keningku dengan lembut beberapa kali tanpa perduli orang-orang sekitar.

Sejak kepergian Bang Joreta, beberapa minggu aku merasa sepi dan kehilangan, tetapi aku berusaha bersikap senormal mungkin dan fokus dengan sekolahku yang baru, situasi yang baru dan juga teman – teman baru. Pada awalnya Bang Jore dengan rajin setia mengirim surat berisi kegiatannya, semua hal baru yang dia alami dan tentunya ungkapan rasa cinta.

Puluhaan surat cinta telah digoreskan berlembar-lembar. Tetapi pada tahun yang ketiga Bang Jore mengurangi frekuensi suratnya dengan alasan terlalu sibuk dengan studi dan sering-sering praktek lapangan, dan akhirnya balasan surat terakhir dariku tak pernah lagi ada. Walau demikian aku tetap berusaha setia. Sejumlah teman laki-laki yang berusaha mendekat aku tolak dengan halus. Aku sempat dicap waniat lesbian karena penolakanku dan sikapku yag dingin, tetapi aku tak perduli dan setia menanti Bang Jore kembali. Aku tidak inginkan kemnang yag dia tanam dipetik orang.

Hingga pada akhir tahun yang kelima, orang tua Bang Jore datang menghadap kalimbubu (mohon doa restu) ke Bapa dan Nande karena studi Bang Jore telah selesai dan selanjutnya akan kembali ke Medan bersama calon istrinya. Dan akan diadakan pesta Pernikahan Peradatan Karo. Betapa hancur hatiku. Duniaku terasa terbalik mendengarnya. Pahit dan getir rasanya hatiku. Hancur rasanya hidupku. Berhari-hari aku terisak-isak.

“Selamat ya Bang Jore..semoga kau bahagia…, terimakasih karena engkau telah pernah hadir mengiasi hidupku” ucapku sambil menebar senyum yang dipaksakan.

“ Terimakasih dekku…, semoga engkau juga kelak bahagia” jawabnya seenaknya.

Sejak saat itu, aku benar-benar kehilangan semangat. Jangankan menerima laki-laki lain di hatiku, bergaul dengan mereka juga aku sudah muak. Kalau dulu aku menolka dengan halus, kini aku menolak dengan mencak-mencak. Studi juga hampir gagal.

“Buk…,malam sudah larut sekali, sebaiknya ibu masuk kedalam, saya yakin ibu lelah sekali” ucap security hotel tiba-tiba. Sepertinya dia memperhatikankku dari tadi. Tanpa jawaban aku berdiri dan melangkah menuju kamarku.




Note : impal adalah saudara sepupu silang. 

Contohnya dalam cerita ini adalah..ayahku bersaudara dengan ibu Joreta, dalam silang ini kami bisa menikah karena saya putri paman Joreta. Tetapi jika saya laki-laki maka kami tidak diizinkan menikah. Jika saya laki-laki maka yg boleh saya nikahi adalah putri pamanku, putri saudara laki-laki ibuku. 

(bersambung) 

Cerpen ini sebelumnya telah di publis di Sorasirulo