Sesungguhnya
aku butuh istirahat malam itu, aku sungguh lelah karena hari ini
Patric mengajakku jalan menelusuri pulau Samosir, dan besok
perjalanan Parapat – Medan akan memakan waktu.
Patric ingin
mengambil jalur lintas Kabupaten Karo yang menurutnya lebih indah ,
dan ingin singgah di penatapan Simarjarunjung, dan Air Terjun si
Piso-piso, nyantap jagung bakar, atau jagung rebus di Berastagi. Dan
sudah pasti menikmati indahnya matahari terbenam dari puncak Bukit
Gundaling.
Gelisah,
resah, bingung sedih dan takut pada hatiku sendiri , bercampur
menjadi satu hingga aku benar-benar sulit memejamkan mata. Pernyataan
kasih sayang Patric dan getirnya hati karena cinta pertama membuatku
tak tahu berbuat apa. Malam yang semakin larut, membawaku semakin
larut juga pada cerita masa laluku.
“ Aku
akan membuktikan bahwa aku tidak seperti impalmu itu” ucap
Patric senja itu. Entah dari siapa dia mendengar tentang cerita
cintaku ini. Ada ras marah karena orang lain telah bercerita di
belakangku, tetapi aku teringat adikku Riah. Aku dapat pastikan bahwa
adikku inilah yang telah berceloteh ria sesuai dengan namanya kepada
Patric.
Tujuh
tahun sebelumnya, aku baru memasuki masa remajaku, aku akan memasuki
kelas 1 SMA ketika impalku Joreta Tarigan akan melanjutkan
pendidikannya ke pulau seberang, tepatnya Universitas Pertanian
Bogor. Otaknya yang memang cemerlang membuat dia dengan mudah
diterima menjalani pendidikan disana, Insinyur Pertanian adalah
cita-citanya sejak kecil.
Sejak dia menduduki kelas 3 SMA, dan aku
tumbuh menjadi seorang remaja, dia semakin sering berkunjung.
Layaknya remaja yang sedang jatuh cinta dia selalu hadir di malam
minggu. Dan aku akan menyambutnya dengan malu-malu kucing.
Aku
tidak tahu pasti apakah aku saat itu benar-benar jatuh cinta karena
sesungguhnya kami bertumbuh secara bersama, aku telah mengenalnya
sejak awal hidupku. Namun naluri kewanitaanku berbisik lain, aku
mulai takut akan kehilangan Bang Jore, demikian kami
memanggilnya..terutama dengan mengingat bahwa dia akan ke pulau
seberang. Jelas dia akan bertemu dengan banyak wanita lain. Aku tak
berani membayangkannya.
“Kam
tidak sedih kalau Bang Jore akan pergi jauh dek ?” tanya Bang Jore
sore itu ketika kami duduk bersama menikamati es kelapa muda di Taman
Sri Deli di hari minggu sore. Hari Minggu sore terakhir kami berdua
sebelum di berangkat.
“
Sedih, ya sedih jugalah Bang, kan nggak ada lagi orang yang mau aku
candai, kuledek dan sebaliknya” jawabku sambil menatap wajahnya dan
berusaha tersenyum semanis mungkin, dan tiba hatiku tiba-tiba haru
sekali, tangisku hampir meledak.
“Itu
saja dek ? “ tanya Bang Jore selanjutnya.
Aku
diam dan menundukkan kepalaku karena tak tahu harus bagaimana
menjawabnya. Apa yang kuraskan saat itu membuatku kehilangan
kata-kata. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
Dan
tiba-tiba Bang Jore memegang kedua tanganku, dan meletakkannya di
dadanya sambil berkata
“
Timaindu kel pagi pagi kemulihenku ya impalku, ula kel pagi rudang
si kusuan kalak si mutikenca adi enggo terlak” “Tunggulah
kepulanganku impalku..janganlah bunga yang telah aku tanam akan di
petik orang ketika berkembang”
Tanpa
kusadari, hanya airmataku yang mampu memberi jawabanya.
“Sudah
dek, airmatamu sudah cukup bagiku sebagai jawabannya” ucap Bang
Jore sambil mengusap air mata di pipiku, kemudian mencuim keningku
dengan lembut beberapa kali tanpa perduli orang-orang sekitar.
Sejak
kepergian Bang Joreta, beberapa minggu aku merasa sepi dan
kehilangan, tetapi aku berusaha bersikap senormal mungkin dan fokus
dengan sekolahku yang baru, situasi yang baru dan juga teman –
teman baru. Pada awalnya Bang Jore dengan rajin setia mengirim surat
berisi kegiatannya, semua hal baru yang dia alami dan tentunya
ungkapan rasa cinta.
Puluhaan
surat cinta telah digoreskan berlembar-lembar. Tetapi pada tahun yang
ketiga Bang Jore mengurangi frekuensi suratnya dengan alasan terlalu
sibuk dengan studi dan sering-sering praktek lapangan, dan akhirnya
balasan surat terakhir dariku tak pernah lagi ada. Walau demikian aku
tetap berusaha setia. Sejumlah teman laki-laki yang berusaha mendekat
aku tolak dengan halus. Aku sempat dicap waniat lesbian karena
penolakanku dan sikapku yag dingin, tetapi aku tak perduli dan setia
menanti Bang Jore kembali. Aku tidak inginkan kemnang yag dia tanam
dipetik orang.
Hingga
pada akhir tahun yang kelima, orang tua Bang Jore datang menghadap
kalimbubu (mohon doa restu) ke Bapa dan Nande karena studi Bang
Jore telah selesai dan selanjutnya akan kembali ke Medan bersama
calon istrinya. Dan akan diadakan pesta Pernikahan Peradatan Karo.
Betapa hancur hatiku. Duniaku terasa terbalik mendengarnya. Pahit dan
getir rasanya hatiku. Hancur rasanya hidupku. Berhari-hari aku
terisak-isak.
“Selamat
ya Bang Jore..semoga kau bahagia…, terimakasih karena engkau telah
pernah hadir mengiasi hidupku” ucapku sambil menebar senyum yang
dipaksakan.
“
Terimakasih dekku…, semoga engkau juga kelak bahagia” jawabnya
seenaknya.
Sejak
saat itu, aku benar-benar kehilangan semangat. Jangankan menerima
laki-laki lain di hatiku, bergaul dengan mereka juga aku sudah muak.
Kalau dulu aku menolka dengan halus, kini aku menolak dengan
mencak-mencak. Studi juga hampir gagal.
“Buk…,malam
sudah larut sekali, sebaiknya ibu masuk kedalam, saya yakin ibu lelah
sekali” ucap security hotel tiba-tiba. Sepertinya dia
memperhatikankku dari tadi. Tanpa jawaban aku berdiri dan melangkah
menuju kamarku.
Note :
impal adalah saudara sepupu silang.
Contohnya dalam cerita ini
adalah..ayahku bersaudara dengan ibu Joreta, dalam silang ini kami
bisa menikah karena saya putri paman Joreta. Tetapi jika saya
laki-laki maka kami tidak diizinkan menikah. Jika saya laki-laki maka
yg boleh saya nikahi adalah putri pamanku, putri saudara laki-laki
ibuku.
(bersambung)
Cerpen ini sebelumnya telah di publis di Sorasirulo
Bagian pertama : Kenalan Pertama di Gramedia Gajah Mada
Bagian kedua : Kecupan Pertama di Pinggir Danau Toba
Bagian kedua : Kecupan Pertama di Pinggir Danau Toba