Sejak hari yang
suram itu, Patric tak lagi hadir di rumah. Sudah 6 bulan lamanya.
Anak-anakku , dua
putraku tercinta yang telah dewasa tak lagi menanyakan dimana papa
mereka.
“Kejam, laki-laki
tak bertanggungjawab, dan dia papaku !”seru anakku yang pertama
dengan tetap marah.
“Drama kegelapan
hidupku” ucap putraku yang kedua dengan nada yang sedih. Aku tahu
dia yang paling berat menerima kenyataan ini. Karena dia introvert.
“Walau
bagaimanapun dia adalah papa kalian, kita boleh marah tapi cobalah
untuk tidak membencinya apalagi mendendam.”, jawabku, walau aku
tahu, kecewa, bingung dan sakit hati yang mengris-mengiris memberi
perih yang tiada tara bagi kami bertiga.
Papa kalian telah
berbuat yang terbaik buat kita bertahun-tahun lamanya. Mama jadi
kasihan, karenanya mama telah ajukan perceraian”
“Goed, makin cepat
makin baik” ucap anak pertamaku yang benar-benar geram.
“Mama jangan
sembunyikan derita yang bakalan panjang ini…!” selajutnya
berseru.
Aku nyaris menangis
didepan mereka. Tak tahan melihat derita putra-putraku.
Reaksi temanku juga
berbeda-beda akan nasib yang menimpaku dan anak-anakku. Broken home,
perceraian rumah tangga.
“Sabar...kuatkan
hati dan jiwamu demi anak-anak walau pahit, getir, nyeri, yang kau
rasakan” nasihat temanku baikku Shopia.
“Sebuah cerita
kehidupan ,segalanya bisa terjadi“ ucap temanku Mariet.
“Betapa beratnya
bebanmu, aku turut menderita denganmu” jawab temanku yang lain.
Jujur, aku tidak
berani menceritakan secara details apa penyebab perceraian ini
terhadap teman-temanku yang berasal dari Indonesai atau negara lain
yang pada lingkungan sebangsa mereka masih tetap anti LGBT.
Aku tidak malu
tetapi aku takut reaksi mereka. Aku tidak akan sanggup mendengar
nyinyiran mereka dan meletakkan kesalahan padaku. Bahwa aku atheis,
aku kurang dekat dengan Tuhan, aku kurang ibadah. Bahwa aku gagal
menjadi seseorang yang percaya akan Tuhan. Aku gagal menjadikan
suamiku percaya akan Tuhan. Aku gagal menempa anakku menjadi orang
yang percaya. Aku lupa budaya dan kultur. Aku adalah loser.
Dan banyak lagi cemohan lainnya. Negara Belanda adalah salah satu
negara yang menerima LGBT tetapi dalam komunitas tertentu, banyak
yang belum positif tentang hal ini.
Peristiwa yang
menimpaku dan keadaaan Patric juga aku tutupi kepada keluargaku di
Medan. Akan terlalu sakit bagi Bapa dan Nande mendengar
nasib anak mereka. Aku hanya menceritakan bahwa Patric menemukan yang
lain dariku, dan memang benar hanya saja sejenis dengannya.
Tak lama setelah
penandatanganan surat perceraian Patric merubah namanya menjadi
Patricia.Pukulan tambahan
bagi anak-anakku. Kelak cucu-cucuku tidak akan pernah mengenal Opa
mereka. Aku tak berani membayangkan apa yang akan dirasakan oleh
anak-anakku.
Hingga saat ini aku
tidak bisa menemukan apa penyebab yang pasti semua ini. Tetapi satu
hal ku tanamkan pada anak-anakku agar mereka tidak menunggu terlalu
lama jika mereka memiliki perasaan yang sama dengan Patric. Aku akan
menerimanya dengan tangan terbuka, mereka anakku, buah cintaku ,
bagian darah dagingku, dan aku ingkinkan mereka bahagia.
***************
“Mari kita pulang”
ajak Joke pelayan cafe pada pelanggan setianya ini, ketika untuk
kesekian kalinya aku menyeka airmata.
Rupanya waktu telah
menunjukkan jam malam, walau sisa matahari di musim panas yang
panjang masih mengiasi langit jingga. Dan aku telah berjam-jam
mengayal.
Selesai.
Amsterdam, Juni 2017
Note : nama dan
tempat tidak ada hubungannya dengan cerita ini.
Part 1 : Kenalan Pertama di Gramedia Gajah Mada Medan
Part 2 : Kecupan Pertama di pinggit Danau Toba.
Part 3 : Getirnya Cinta Pertama
Part 4 : Musim Semi Penuh Lara
Part 2 : Kecupan Pertama di pinggit Danau Toba.
Part 3 : Getirnya Cinta Pertama
Part 4 : Musim Semi Penuh Lara