Suamiku Patric jadi Patrisia (5): Awal Derita Panjang


Danau Toba
srikatana.blogspot.com



Sejak hari yang suram itu, Patric tak lagi hadir di rumah. Sudah 6 bulan lamanya.
Anak-anakku , dua putraku tercinta yang telah dewasa tak lagi menanyakan dimana papa mereka.
“Kejam, laki-laki tak bertanggungjawab, dan dia papaku !”seru anakku yang pertama dengan tetap marah.

“Drama kegelapan hidupku” ucap putraku yang kedua dengan nada yang sedih. Aku tahu dia yang paling berat menerima kenyataan ini. Karena dia introvert.

“Walau bagaimanapun dia adalah papa kalian, kita boleh marah tapi cobalah untuk tidak membencinya apalagi mendendam.”, jawabku, walau aku tahu, kecewa, bingung dan sakit hati yang mengris-mengiris memberi perih yang tiada tara bagi kami bertiga.

Papa kalian telah berbuat yang terbaik buat kita bertahun-tahun lamanya. Mama jadi kasihan, karenanya mama telah ajukan perceraian”

“Goed, makin cepat makin baik” ucap anak pertamaku yang benar-benar geram.

“Mama jangan sembunyikan derita yang bakalan panjang ini…!” selajutnya berseru.

Aku nyaris menangis didepan mereka. Tak tahan melihat derita putra-putraku.

Reaksi temanku juga berbeda-beda akan nasib yang menimpaku dan anak-anakku. Broken home, perceraian rumah tangga.

“Sabar...kuatkan hati dan jiwamu demi anak-anak walau pahit, getir, nyeri, yang kau rasakan” nasihat temanku baikku Shopia.

“Sebuah cerita kehidupan ,segalanya bisa terjadi“ ucap temanku Mariet.

“Betapa beratnya bebanmu, aku turut menderita denganmu” jawab temanku yang lain.

Jujur, aku tidak berani menceritakan secara details apa penyebab perceraian ini terhadap teman-temanku yang berasal dari Indonesai atau negara lain yang pada lingkungan sebangsa mereka masih tetap anti LGBT. 
 
Aku tidak malu tetapi aku takut reaksi mereka. Aku tidak akan sanggup mendengar nyinyiran mereka dan meletakkan kesalahan padaku. Bahwa aku atheis, aku kurang dekat dengan Tuhan, aku kurang ibadah. Bahwa aku gagal menjadi seseorang yang percaya akan Tuhan. Aku gagal menjadikan suamiku percaya akan Tuhan. Aku gagal menempa anakku menjadi orang yang percaya. Aku lupa budaya dan kultur. Aku adalah loser. Dan banyak lagi cemohan lainnya. Negara Belanda adalah salah satu negara yang menerima LGBT tetapi dalam komunitas tertentu, banyak yang belum positif tentang hal ini. 

Peristiwa yang menimpaku dan keadaaan Patric juga aku tutupi kepada keluargaku di Medan. Akan terlalu sakit bagi Bapa dan Nande mendengar nasib anak mereka. Aku hanya menceritakan bahwa Patric menemukan yang lain dariku, dan memang benar hanya saja sejenis dengannya.

Tak lama setelah penandatanganan surat perceraian Patric merubah namanya menjadi Patricia.Pukulan tambahan bagi anak-anakku. Kelak cucu-cucuku tidak akan pernah mengenal Opa mereka. Aku tak berani membayangkan apa yang akan dirasakan oleh anak-anakku.

Hingga saat ini aku tidak bisa menemukan apa penyebab yang pasti semua ini. Tetapi satu hal ku tanamkan pada anak-anakku agar mereka tidak menunggu terlalu lama jika mereka memiliki perasaan yang sama dengan Patric. Aku akan menerimanya dengan tangan terbuka, mereka anakku, buah cintaku , bagian darah dagingku, dan aku ingkinkan mereka bahagia. 

                                               ***************

“Mari kita pulang” ajak Joke pelayan cafe pada pelanggan setianya ini, ketika untuk kesekian kalinya aku menyeka airmata.

Rupanya waktu telah menunjukkan jam malam, walau sisa matahari di musim panas yang panjang masih mengiasi langit jingga. Dan aku telah berjam-jam mengayal.

Selesai.

Amsterdam, Juni 2017
Note : nama dan tempat tidak ada hubungannya dengan cerita ini.